Blog
Menghafal Qur’an, kenapa tidak? (Janji kemudahan dari Allah, Manfaat dan Prosesnya secara Psikologis)
- 01/10/2022
- Posted by: Mazfaa
- Category: Artikel
Pernahkah kita mendengarkan sebuah musik lalu lama kelamaan hafal lirik tersebut dengan sendirinya? Atau mungkin diantara kita sudah ada yang pernah menghafalkan Qur’an namun perlahan-lahan mulai lupa? Lalu bagaimana sebenarnya memori itu terbentuk di otak kita?
Kita awali dulu pembahasan kita mengenai firman Allah pada surat Al-Qomar ayat 17, 22, 32, dan 40.
وَلَقَدۡ يَسَّرۡنَا ٱلۡقُرۡءَانَ لِلذِّكۡرِ فَهَلۡ مِن مُّدَّكِرٖ
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”
“Penggunaan kata “qad” yang didahului oleh “lam ta’kid” (lam untuk mengokohkan makna) memberikan pengertian bahwa Allah ikut terlibat dalam peristiwa “memudahkan Al-Qur’ an”. Kemudahan ini mencakup kemudahan dalam menghafalkan, membaca, dan menafsirkannya. (Ahsin Sakho, Menghafalkan Al-Qur’an, 2017:16)
Hamka dalam tafsirnya juga mengatakan Al-Qur’an ini kitab suci yang Allah mudahkan kepada manusia untuk membacanya dan menghafalanya selama manusia itu memiliki kemauan. Hal ini terbukti dengan banyaknya bangsa-bangsa non-Arab yang dapat membacanya dan mempelajarinya, hingga muncul bidang keilmuan seperti ilmu tafsir, ilmu tasawuf, ilmu balaghah, ilmu falsafah, ilmu nahwu dan ilmu sharaf, ilmu manthiq dan ma’ani serta ilmu lainnya yang bersumber dari Al-Qur’an. (Hamka, Al-Azhar, juz 8, 20 21:580)
Ad-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas ketika menafsirkan ayat tersebut “Kalaulah bukan Allah yang memudahkan bacaan itu bagi lidah anak Adam, tidaklah seorang pun yang akan sanggup bercakap dengan percakapan Allah yang Dia sampaikan kepada hamba-Nya” (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adhim, jilid 9, 2016:685)
Sebelum membahas mengenai proses menghafal, mari kita bahas dulu mengenai manfaatnya:
- Manfaat spiritual
Al-Qur’an adalah kitab yang penuh keberkahan, keberkahan berarti banyaknya kebaikan pada sesuatu. Maka mereka yang menghafalkan Al-Qur’an akan mengunduh keberkahan itu secara terus-menerus. Saat sedang mengafalkan Al-Qur’an juga kita akan terus menerus mengulang ayat tersebut, sehingga semakin banyak diulang akan semakin banyak pahala yang diraih.
- Manfaat etika dan akhlak
Menghafalkan Al-Qur’an juga akan menciptakan generasi yang penuh etika. Sebagai gambaran, seorang penghafal Al-Qur’an harus menyetorkannya kepada guru dengan penuh etika dan kesopanan. Jika hal ini terus dan akan berulang, secara tidak langsung etika dan kesopanan tersebut akan terinternalisasi pada diri seseorang.
- Manfaat intelektual
Salah satu manfaat menghafalkan Al-Qur’an juga akan menambah kecerdasan seseorang, hal ini dikarenakan seseorang yang sedang menghafal akan menggunakan otaknya secara terus menerus dan mengaktifkan sel-sel diotaknya tersebut. Pernyataan tersebut juga didukung oleh bukti ilmiah di bidang neuroscience. Setiap kali kita mempelajari hal yang baru, maka sel-sel bagian otak kita akan membentuk jaringan syaraf baru sesuai dengan sifat plastisitas otak.
Berbicara soal menghafal, apasih sebenarnya yang terjadi didalam otak kita?
Dalam ilmu psikologi, menghafal erat kaitannya dengan memori. Yaitu ingatan dari informasi atau pengalaman masa lampau yang merupakan hasil dari proses encoding (kodifikasi), storage (menyimpan), dan retrieval (pemanggilan kembali).
Encoding atau kodifikasi merupakan langkah awal memori, yaitu proses bagaimana sebuah informasi masuk ke dalam ingatan kita. Pada proses ini juga melibatkan attention atau perhatian. Bisa secara sengaja maupun tidak disengaja, semisal ketika kita sedang berada di jalan tiba-tiba ada sesuatu yang menarik perhatian kita dan setelahnya kita jadi ingat akan hal tersebut. Sedangkan yang secara sengaja memberikan perhatian khusus akan suatu hal biasa kita sebut dengan kegiatan menghafal. Dalam proses kodifikasi ini juga melibatkan seluruh indra kita, maka terkadang tidak heran juga mengapa sebagian santri yang sedang menghafal Qur’an memiliki tempat khusus untuk menghafal dan mengulang hafalannya.
Proses kodifikasi memori juga dipengaruhi oleh tingkatan dalam memproses, yaitu sebuah rangkaian proses memori dimulai dari dangkal, menengah hingga yang paling dalam.
- Proses memori dangkal melibatkan fisik dan persepsi yang melekat kemudian dianalisis. Contohnya ketika kita melihat lengkungan, garis dan titik yang menunjukan huruf hijaiyyah, kemudian dari huruf tersebut membetuk pola yang khas, lalu kita akan mengenali bahwa itu seperti ayat Al-Qur’an.
- Proses memori tingkat menangah adalah ketika sebuah stimulus sudah dikenali dan diberi label. Contohnya stimulus huruf hijaiyah tadi kita kenali sebagai ayat Al-Qur’an pada bagian tertentu misal Juz 26 surat al-Ahqaf .
- Proses memori tingkat dalam yaitu sudah melibatkan makna, penuh arti, dan karakteristik simbol. Contohnya pada Juz 26 surat al-Ahqaf ayat 29-32 membahas sekelompok Jin laki-laki yang beranggotakan 1-9 orang dengan pimpinan bernama Zauba’ah beriman setelah mendengarkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam membacaan Al-Qur’an dan peristiwa itu terjadi setelah belum berhasil dakwah di Thaif.
Salah satu metode yang paling ampuh dalam menghafal adalah dengan imajinasi, yaitu penggunaan citra bahwa seseorang memunculkan gambar yang terkait dengan setiap hal yang perlu diingat. Semisal ketika kita menghafalkan Al-Qur’an dengan melibatkan imajinasi seolah cerita-cerita dalam Al-Qur’an itu terjadi saat ini dan kita menyaksikannya, dengan begini menghafal ayat-ayat yang berkaitan dengan cerita akan lebih kuat dan mudah untuk dihadirkan kembali.
Sebuah memori membutuhkan penyimpanan yang tepat, proses kodifikasi tidak semata-mata menjadi penentu tunggal kualitas ingatan. Storage atau penyimpanan yaitu mencakup bagaimana informasi disimpan dari waktu ke waktu dan bagaimana diwakili dalam memori. Richard Atkinson dan Richard Shiffrin mencetuskan teori populer mengenai sebuah memori. Theori Atkinson–Shiffrin menyatakan bahwa penyimpanan memori itu dibagi menjadi tiga, yaitu:
- Sensory memory (memori sensorik): stimulus yang kita terima dan kita ingat dalam waktu sepersekian detik hingga beberapa detik. Memori sensorik begitu kaya stimulus dan detail, akan tetapi kita akan cepat lupa terhadapnya. Seperti ketika kita berjalan di tempat yang ramai. Ada suara mesin kendaraan, klakso kendaraan, musik dari pinggir jalan, kicauan burung dan lainnya yang kita sadari itu terekam dalam memori sensorik kita.
- Short-term memory (memori jangka pendek): stimulus yang kita terima dan kita ingat dalam waktu beberapa detik hingga 30 detik, kecuali seseorang menggunakan suatu cara agar ingatan tersebut bertahan lebih lama. Sebuah informasi yang secara khusus kita beri perhatian akan tersimpan pada memori ini. Meskipun lebih bisa mengingat lama dibandingkan dengan memori sensorik, memori jangka pendek memiliki batasan dalam mengingat sebuah informasi.
George Miller dalam sebuah percobaannya (Miller, 1956) untuk meneliti seberapa banyak jumlah kata atau angka yg bisa manusia ingat tanpa sebuah bantuan menemukan, bahwa jumlah angka atau kata tersebut adalah 7+/-2. Yang artinya seseorang dapat mengingat antara 5-9 kelompok kata/ angka pada tingkatan memori jangka pendek.
- Long-term memory (memory jangka panjang): stimulus yang kita terima dalam dan kita ingat dalam beberapa waktu hingga seumur hidup. Memori ini adalah jenis memori yang relatif permanen yang menyimpan sejumlah besar informasi untuk waktu yang lama. Kapasitas memori ini sangat mengejutkan. John von Neumann (1958), ahli matematika terkemuka, menempatkan ukuran pada 2,8 × 1020 (280 triliun) bit, yang secara praktis berarti kapasitas penyimpanan kita adalah hampir tidak terbatas. Von Neumann berasumsi bahwa kita tidak pernah melupakan apa pun, namun mengingat bahwa kita melupakan banyak hal, akan tetapi kita dapat menyimpan beberapa miliar kali lebih banyak informasi lebih daripada computer.
Retrieval atau pemanggilan ulang memori adalah proses yang terjadi ketika informasi yang disimpan dalam memori dikeluarkan dari penyimpanan. Hal ini seperti memori kita adalah sebuah bank data besar tersusun rapi seperti perpustakaan, kemudian suatu ketika kita ingin mencari informasi tertentu pada buku tertentu.
Jika memang demikian sebuah kapasitas memori di otak kita, lalu bagaimana kita bisa melupakan sebuah informasi?
Lupa dapat dijelaskan dengan teori retensi, yaitu kemampuan untuk mengingat materi yang diajarkan sampai pada periode tertentu. Hal yang diingat adalah hal yang tidak dilupakan, dan hal yang dilupakan adalah hal yang tidak diingat. Herman Ebbinghaus (1885) telah mengadakan penelitian mengenai hal ini.
Pada penelitian tersebut didapati bahwa setelah kita selesai menghafal, banyak sekali hal-hal yang dilupakan, tetapi yang kita lupakan lagi makin lama makin sedikit. Lalu bagaimana jika setelah menghafal kita berusaha untuk mengulang lagi?
Ebbinghaus kemudian melakukan penelitian lagi dan grafik disamping adalah hasilnya. Semakin sering kita mengulang untuk menghafal lagi akan semakin banyak informasi yang dapat kita ingat.
Jadi kesimpulannya, Allah azza wa jalla telah memudahkan kalam-Nya untuk dingat oleh makhluk-Nya, kemudian hal itu juga diperkuat dengan kapasitas memori otak yg telah Allah berikan juga. Masalah lupa itu hal yang biasa terjadi, namun Allah jugalah yang telah menciptakan sifat lupa dan Dia jugalah yang memberikan kepada manusia solusinya.
Oleh: June Maulana Ikhsan
(Mahasiswa Magister Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta)
(Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an Isy Karima)
NIM: S300220003
Daftar Pustaka
Muhammad, Ahsin Sakho. 2017. Menghafalkan Al-Qur’an: Manfaat, Keutamaan, Keberkahan, dan Metode Praktisnya. Jakarta Selatan: Qaf Media Kreativa.
Hamka. 2021. Tafsir Al-Azhar Jilid 8. Depok: Gema Insani
Katsir, ‘Imaduddin Ismail. 2015. Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim (terj tafsir Ibnu Katsir). Sukoharjo: Insan Kamil
Suryabrata, Sumardi. 2019. Psikologi Pendidikan. Depok: Rajawali Pers
King, Laura A. 2017. The Science Of Psychology an Appreciative View. Columbia: University of Missouri